Senin, 13 Oktober 2008

Bedug yang Sakral

Bedug yang Sakral



Oleh:
Drs. Mudzakkir Dwi Cahyono, M.Hum
(Univ. Negeri Malang)

3. Waditra semi-sakral

Walau secara bendawi beduk adalah waditra profan, namun karena keberadaannya pada tempat peribadatan (masjid, surau) serta bunyi yang dihasilkan menjadi petanda waktu ibadah atau sebagai penyemarak dalam perhelatan budaya terkait dengan hari raya Islam, maka waditra ini acapkali disikapi sebagai benda setengah sakral. Salah satu beduk di masjid agung Surakarta misalnya, diberi predikat “Kyai”, dengan nama “Kyai Wahyu Tenggoro”.

Begitu pula, beduk tua pada masjid agung Sang Cipta Rasa di Cirebon diberi predikat “sang” atau “kyai”, dengan nama “Sang Guru Mangir” atau “Kyai Buyut Tesbur Putih” (Anom, e.a, 1996/1999).

Sebagai waditra setengah sakral, suatu beduk tua yang meski telah tidak layak bunyi, tetap dipertahankan keberadaannya di masjid walau telah ada beduk penggantinya. Beduk ini tidak lagi ditabuh, atau hanya ditabuh sekali waktu. Beduk tua yang telah tak ditabuh bisa dijumpai di masjid Caringin (Pandeglang), masjid Sunan Gunung Muria, masjid al-Alam di Marunda (DKI), dsb. Beduk tua di masjid Kauman (Semarang), yang menurut legenda dibuat atas perintah Bupati I Semarang dan dikatkan dengan Kyai Pandanarang hanya ditabuh setahun sekali sambil dikirab keliling kota dalam perhelatan budaya Islami “Duk Deran” sehari menjelang masuk bulan Ramadhan.

Sebagai benda yang dipandang semi sakral, kulit binatang dan batang pohon sebagai bahan pembuatan beduk dipilih dari pohon dan binatang yang baik. Demikian pula dalam proses pengerjaannya, harus secara baik pula. Pada masa sekarang, prasyarat yang demikian tak selalu diindahkan dalam pembuatan be-duk. Bahkan, tong bekas sekalipun bukan soal untuk dijadikan sebagai rasonator beduk-beduk kecil di daerah perkotaan. Posisi sakral beduk perlahan mengalami degradasi. Tak jarang beduk hanya disikapi sebagai waditra biasa penghasil bu-nyi, yang tidak beda dengan waditra-waditra lain. Bahkan, keberadaan beduk di masjid atau surau acap dianulir untuk digantikan dengan pengeras suara.

4. Ikon budaya

Keterlibatan beduk dalam berbagai perhelatan budaya Jawa yang Islami, menjadikan waditra ini sebagai ikon budaya. Terkait dengan ritual dan perhelatan budaya pada bulan suci Ramadahan dan hari-hari besar Islam, beduk dan ketu-pat adalah dua hal yang tak pernah alpa untuk hadir dari tahun ke tahun. Dalam hal demikian, beduk baik yang berwujud sebagai aksesori imitatif, ragam hias (ornamentasi) maupun yang berwujud seni musik (tetabuhan) menghiasi fasilitas publik, dan suaranya mengumandang di pelosok Tanah Jawa, khususnya dalam bulan Ramadhan dan pada sekitar Hari Raya Idul Fitri. Beduk Jawa, yang walau pada awalnya tidak secara spesifik difungsikan dalam hubungan dengan ritual dan perhelatan budaya Islami, namun lantaran keterlibatannya yang intensif da-lam ritual dan tradisi budaya Islam tersebut, maka perlahan beduk tampil menjadi ikon budaya Islam. Sebagai ikon budaya yang Islami, beduk disikapi bukan seba-gai waditra biasa. Malahan, oleh sebagian umat islam, beduk diposisikan seba-gai waditra khusus, yang kehadirannya dihubungkan secara khusus pula dengan ritual Islam dan dijadikan sebagai penyemarak dalam tradisi budaya Islam.

Meski demikian, bukan berarti bahwa waditra beduk hanya melulu tampil dalam peristiwa ritual dan tradisi budaya Islam. Fungsi awal beduk sebagai wadi-tra jenis membraphone terus berlanjut di tengah kancah seni musik etnik. Beduk dalam fungsi ini menjadi waditra tunggal untuk suatu pertunjukan musik, atau bi-asa juga ditampilkan sebagai salah satu waditra dalam suatu ansambel musik profan. Dalam fungsinya yang demikian, beduk menjadi bagian integral dari seni pertunjukan, baik dalam seni pertunjukan sakral maupun profan. Bahkan, seiring dengan kian maraknya olah kreatif dalam seni musik kekinian, waditra beduk tak ketinggalan untuk dkolaborasikan dengan waditra-waditra lian dalam seni musik tradisi maupun seni musik kontemporer yang serba elektrik. Kendati dalam suatu ansambel musik beduk hanya merupakan salah satu komponen waditra diantara sejumlah waditra yang dipadu, namun berkat hentakan bunyinya yang khas, bu- nya beduk tetap mampu memberi ciri khusus pada paduan bunyi artistik ini.

Tidak ada komentar: