Senin, 13 Oktober 2008

Bedug, untuk Tanda Bahaya Hingga Perang

Bedug, untuk Tanda Bahaya Hingga Perang

Drs. Mudzakkir Dwi Cahyono, M.H

C. Ragam Fungsi Beduk Jawa

Sebagai waditra yang telah ada bahkan mengakar di dalam sosio-budaya Jawa, beduk atau waditra lain sejenisnya yang disebut dengan “teg-teg, jidor, gu-pe’, dsb”, tentulah keberadaannya tak dapat dilepas dari masyarakat dan budaya Jawa pada lintas masa. Berangkat dari pemikiran yang demikian, telaah menge-nai fungsi beduk Jawa hendaknya ditalikaitkan dengan latar budaya masyarakat pemangkunya, yaitu tradisi budaya dari masyarakat Jawa. Dalam hal ini, beduk diposisikan sebagai bagian integral dalam tradisi budaya Jawa.

1. Petanda bunyi

Fungsi arkhais dari beduk Jawa dapat diperikasa dalam Kidung Malat (pu-puh XLIX)”, yang dinyatakan sebagai media untuk mengumpulkan penduduk dari berbagai desa dalam rangka persiapan perang. Dalam fungsi ini, bunyi tertentu manakala beduk ditabuh merupakan suatu kode bunyi yang oleh masyarakat pe-mangkunya, yakni masyarakat Jawa masa Majapahit (abad XIV-XVI), dimaknai sebagai tanda untuk melakukan sesuatu, yaitu berkumpul di suatu tempat seba-gai pernyataan siap untuk diberangkatkan ke medan laga.

Bunyi beduk menjadi tanda (sign), yang menandai perintah atau seruan untuk berkumpul. Fungsi suara beduk sebagai petanda bunyi itu ditegaskan kembali oleh laporan Cornelis de Houtman (akhir abad XVI), bahwa bunyinya menjadi tanda mengenai adanya ba-haya, atau merupakan tanda waktu yang dibunyikan pada pagi hari, tengah hari, atau tengah malam.
Fungsinya sebagai tanda tentang adanya bahaya ini dapat dibandingkan dengan bunyi kentongan (kul-kul) ketika ditabuh bertalu-talu dalam tempo cepat (titir).

Sedangkan fungsinya sebagai penanda waktu (pagi hari, tegah hari dan te-ngah malam) bisa dibadingkan dengan istilah dalam bahasa Jawa Kuna “tabuh”, yang juga menujuk kepada petanda waktu. Dalam kaitan dengan petanda waktu, secara khusus kata “beduk” sering digunakan untuk menandai waktu tepat pada tengah hari hingga sekitar pulul 13 WIB.

Thomas Stamford Raffles, yang pada tahun 1817 menulis “ The History Of Java”, antara lain membicarakan mengenai pembangian waktu pada siang hari, yang terdiri atas: esok, teng’ang’i, beduk, lingsir kulon, dan asar. Fungsi sebagai petanda waktu juga diemban oleh teg-teg. Kode bunyi dari waditra sejenis beduk berukuran besar ini oleh masya-rakat masa Majapahit juga dimaknai sebagai pemberi tanda, atau petanda bunyi (time signal).

Fungsi kentongan (kul-kul) sebagai waditra penanda waktu atau penanda lain sesuai dengan kode bunyi yang dikeluarkan terus belanjut hingga kini. Bah-kan di Bali, kul-kul ditempatkan pada bangunan tersendiri dalam suatu kompleks pura maupun puri, yang dinamai “balai kul-kul”.

Dalam Kakawin Kresnayana (pu-puh XXII.3) bangunan menara waktu untuk menempatkan kentongan kayu (kul kul) disebut “parubungan”. Kata dasar “rubung” dalam kata jadian ini menunjuk kepada fungsi kul-kul sebagai media pengundang hadir banyak orang untuk ber-kumpul (rubung) di suatu tempat. Fungsi demikian pernah pula diemban oleh kul kul yang ditempatkan di menara Kudus.

Konon bunyinya menjadi penanda seru bagi umat Islam untuk hadir beribadah secara berjamaah di Masjid Kudus. Ketika waditra beduk telah diadopsi oleh pemeluk Islam sebagai waditra penyeru untuk sholat berjamaah di masjid, maka beduk ditempatkan di Menara Kudus didam-pingkan dengan waditra kul-kul itu.

Dalam contoh kasus di atas, Menara Kudus menjadi bukti tentang trans-formasi fungsi dari balai kul-kul menjadi menara masjid, sekaligus bukti adanya persamaan fungsi kul-kul dan beduk sebagai petanda bunyi terkait dengan tiba-nya waktu beribadah. Keberadaan beduk dan kentongan (kul-kul) bersamaan di suatu masjid, pada beberapa waktu lalu masih banyak didapati di masjid-masjid Jawa.

Bahkan pada masjid-masjid tua, seperti bisa dijumpai pada masjid Santren (Bagelen) dan Gala (Klaten) maupun pada masjid Agung Banyumas, Surakarta, Demak, Kudus, Kalinyamat (Mantingan), dsb., beduk dan kentongan bambu atau kentongan kayu berukuran besar kedapatan bersama-masa. Kini, kentongan di masjid telah banyak yang ditiadakan, dan tinggal beduk semata yang ditempat-kan di serambi masjid.

Pada perkembangan yang lebih kemudian, bukan hanya kentongan yang ditiadakan. Beduk atau jidor pun telah banyak yang mengilang keberadaannya di masjid atau surau untuk digantikan oleh peran pengeras suara (loud speaker, corong) sebagai media penyeru azan. Memang, tak semua masjid yang memiliki pengeras suara pasti menganulir peran beduk. Terbukti, pada se-jumlah masjid yang kendati telah memiliki pengeras suara, namun fungsi beduk tetap dipertahankan. Mula-mula beduk ditabuh, dan sejurus kemudian dikuman-dangkan azan lewat pengeras suara.

Tidak ada komentar: