Senin, 13 Oktober 2008

Bedug, Lebaran pun Jadi Meriah

Bedug, Lebaran pun Jadi Meriah

Penabuh beduk yang merupakan kolaborasi sejumlah grup mempertontonkan atraksi menabuh beduk, Sabtu (22/3) di kompleks Masjid Agung. Setelah antarkota-kabupaten di Sumsel, pemprov akan memperluas skala festival ini hingga ke tingkat nasional.


Oleh:
Drs. Mudzakkir Dwi Cahyono, M.Hum
(Univ. Negeri Malang)

2. Peyemarak tradisi

Beduk sebagai petanda waktu ibadah tidak hanya terkait dengan sholat lima waktu. Jelang tiba bulan Ramadhan maupun sehari jelang dan tepat pada Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, serta tiba waktu syahur, bunyi beduk ambil peran penting.

Untuk durasi waktu panjang, beduk ditabuh bertalu-talu dalam suatu pesta beduk yang disebut “tidur”. Kata “tidur” yang mengandung unsur kata “dur”, yang bisa jadi menunjuk kepada bunyi beduk.

Jika dihitung, dalam selama Bulan Puasa bebarapa kali beduk ditalu, yaitu pada tiap jelang memasukui sholat lima waktu, usai sholat tarwih dan ketika masuk waktu syahur.

Selain itu, sehari jelang masuk bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri, tabuh beduk dalam kurun waktu yang lebih panjang dilakukan silih berganti oleh para penabuh beduk.

Bahkan di sejumlah tempat, momentum jelang Ramadhan dan Idul Fitri acap ditandai dengan kirab beduk dalam kemeriahan istimewa, seperi kirab beduk pada tradisi islami Dukderan di Semarang, Dangdangan di Kudus, dsb. Unsur kata “duk” da-lam “duk-deran” jelas menunjuk pada bunyi beduk.

Sedangkan unsur kata “der” bisa jadi menunjuk pada bunyi petasan, yang beberapa waktu lalu manakala tiba Ramadhan maupun hari besar Islam (Idul Fitri, Idul Adha, Mauludan) senantiasa disemarakkan degan pesta petasan (mercon).

Kirab serupa itu kembali dilakukan jelang memasuki Hari Raya Idul Addha. Bahkan di Yogyakarta, tepatnya di Desa Godean, perayaan Maulud Nabi (Muludan) dimeriahkan pula dengan menabuh beduk dalam tradisi “Tuk-beduk”.

Tradisi menabuh beduk di Bulan Ramadhan juga berkenaan dengan ritus itikaf di masjid. Pada Masjid Agung Kasepuhan (Cirebon) misalnya terdapat tradisi “Dungdak”, yakni memanfaatkan kesempatan unuk menabuh beduk [dengan irama tertentu] pada pukul 23,000-24.000, dengan maksud untuk mendapatkan berkah bulan Ramadhan. Penabuh beduk pada momentum itu adalah siapa saja yang tengah beritikaf. Mereka bukan musisi khusus.

Dalam kaitan dengan penabuh beduk, menabuh beduk di masjid/surau disikapi oleh banyak orang sebagai pekerjaan sukarela, lillahita’ala. Goenawan Mohamad dalam Harian Kompas. 21 Februari 1997 menuturkan bahwa hampir tiap anak kampung punya pengalaman yang mirip, terutama pada Bulan Puasa, yaitu cari kesempatan untuk memukul kendang besar (beduk).

Demikian pula penabuh beduk pada musik patrol, yang berkeliling kampung untuk membangunkan syahur. Mereka bukan musisi yang terima upah usai memainkan beduk. Barangkali hanya pemain waditra beduk pada pertunjukan ansamble musik profesional saja, termasuk penggebuk beduk (drum) pada suatu grup band, yang menerima uang jasa atas permainan seni musiknya.

Dalam konteks ini, menabuh beduk adalah ekspresi diri dan sekaligus pemenuhan atas keinginan untuk memeriahkan bulan baik (Ramadhan, Idul Fitri, Idul Adha, Mauludan) serta guna membantu sesama muslim agar ingat waktu untuk memasuki saat-saat beribadah.

Tidak ada komentar: